Peretas Rusia Diduga Sabotase Data Georgia Jelang Pemilu
- Muhammad Bachtiar Nur Fa'izi
- •
- 23 Okt 2024 09.09 WIB
Peretas Rusia dikabarkan telah menargetkan pemerintah Georgia serta sejumlah perusahaan penting antara 2017 hingga 2020. Informasi sensitif dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Keuangan, bank sentral, serta penyedia energi dan telekomunikasi berhasil disusupi selama periode ini. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa Rusia berpotensi mempengaruhi infrastruktur vital Georgia, terutama menjelang pemilihan umum yang krusial pada Sabtu, 26 Oktober 2024.
Posisi strategis Georgia sebagai gerbang penting antara Eropa dan Asia, terutama dalam jalur energi dan perdagangan, menjadikan negara ini pusat pertarungan geopolitik antara Barat dan Rusia selama lebih dari dua dekade. Dengan pemilihan umum yang akan segera dilangsungkan, masa depan politik Georgia berada di persimpangan, antara melanjutkan upaya integrasi dengan Barat atau kembali ke pengaruh Moskow. Pemilihan ini mempertemukan partai yang berkuasa, Impian Georgia, yang dipimpin oleh miliarder Bidzina Ivanishvili, dengan oposisi yang menuduh pemerintah terlalu dekat dengan rezim Putin.
Menurut Natia Seskuria, Direktur Eksekutif Regional Institute for Security Studies, operasi peretasan ini menunjukkan bahwa Rusia telah lama menargetkan Georgia. Situasi ini semakin serius mengingat pemilu yang akan datang, di mana campur tangan Rusia bisa mempengaruhi hasilnya. Tuduhan mengenai keterlibatan Rusia dalam memengaruhi pemilu Georgia tidak datang secara tiba-tiba. Rusia sebelumnya dituding terlibat dalam pemilu Amerika Serikat tahun 2016. Selain itu, serangan siber yang melumpuhkan puluhan situs web dan media utama Georgia lima tahun lalu juga dikaitkan dengan dinas intelijen militer Rusia, GRU.
Namun, Rusia membantah semua tuduhan tersebut. Maria Zakharova, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, menyatakan bahwa Amerika Serikat dan sekutunya berusaha memperkeruh situasi di sekitar perbatasan Rusia. Menurutnya, upaya Barat untuk melemahkan Rusia telah mengabaikan kepentingan negara-negara di kawasan tersebut dan membahayakan keamanan mereka.
AS dan Uni Eropa juga menyalahkan Rusia atas tindakan keras pemerintah Georgia terhadap kelompok masyarakat sipil, yang dianggap sebagai langkah yang terinspirasi Kremlin. Di bulan Mei, pemerintah Georgia memicu protes massal dengan memperkenalkan kembali undang-undang "agen asing," yang dirancang untuk memantau pengaruh luar terhadap organisasi non-pemerintah dan media. Sebagai respons, Uni Eropa menunda pembicaraan keanggotaan dengan Georgia, sementara Amerika Serikat memberlakukan pembatasan visa terhadap lebih dari 60 warga Georgia yang dianggap "merusak demokrasi."
Georgia sendiri menolak untuk mendukung sanksi internasional terhadap Rusia. Negara ini bahkan menjadi jalur impor yang berfungsi untuk menghindari pembatasan ekonomi yang dijatuhkan terhadap Moskow. Pada bulan April, Ivanishvili mengkritik Barat, menuduh kelompok perang global berusaha menggunakan LSM untuk menggulingkan pemerintahannya dan memaksa Georgia terlibat konflik dengan Rusia.
Dokumen yang diperoleh Bloomberg juga mengungkap bahwa Rusia telah menjalankan kampanye mata-mata selama bertahun-tahun, yang memungkinkan mereka untuk menguping percakapan dan aktivitas pemerintah Georgia. Beberapa peretas bekerja dari kantor di Moskow pada jam-jam tertentu untuk memantau target mereka, meskipun mereka berusaha menyamarkan keberadaan mereka di sistem Georgia. Dengan akses tersebut, Rusia memiliki kemampuan untuk mengganggu layanan infrastruktur penting Georgia, seperti jaringan listrik dan komunikasi, jika Georgia mengambil langkah yang tidak sesuai dengan kepentingan Rusia.
Dugaan ini semakin memperkuat kekhawatiran bahwa Rusia memiliki kendali yang signifikan terhadap Georgia, terutama dengan pemilihan parlemen yang akan datang. Pemilu ini diperkirakan akan menjadi penentu arah politik masa depan Georgia di tengah tekanan geopolitik antara pengaruh Barat dan Rusia.